1. Apa Itu Kalender Aboge?
Kalender Aboge adalah sistem penanggalan Jawa yang digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa, terutama untuk menentukan hari-hari penting seperti weton, peringatan adat, hingga perhitungan hari baik. Nama Aboge berasal dari singkatan Alif Rebo Wage, yang merujuk pada tahun pertama dalam siklus windu (8 tahun Jawa) yang dimulai pada hari Rabu Wage.
Kalender Aboge memiliki siklus windu selama 8 tahun, di mana setiap tahun memiliki nama khusus, yaitu: Alif, Ha (atau Ehe), Jimawal, Je, Dal, Ba (atau Be), Wawu, dan Jimakir. Setiap awal tahun dalam siklus ini selalu jatuh pada kombinasi hari pasaran tertentu. Misalnya, pada tahun Alif, tanggal 1 Muharram (atau 1 Sura dalam kalender Jawa) jatuh pada hari Rabu Wage. Pada tahun berikutnya, 1 Sura akan jatuh pada Ahad Pon, lalu Jumat Pon di tahun ketiga, dan seterusnya, mengikuti pola tertentu. Setelah delapan tahun berlalu, siklus ini akan kembali ke tahun Alif, dan 1 Sura akan kembali jatuh pada Rabu Wage, mengulang siklusnya.
Baik Aboge maupun Asapon, pada dasarnya keduanya akan tetap mengalami pergeseran terhadap siklus bulan, karena metode perhitungannya tidak sepenuhnya presisi mengikuti peredaran bulan secara astronomis.
Sistem Asapon, yang memulai tahun Alif-Selasa-Pon pada tahun 1936 M (atau 1867 Tahun Jawa), dirancang untuk berlaku selama satu siklus panjang, yaitu 15 windu (15 × 8 tahun = 120 tahun lunar). Berdasarkan perhitungan tersebut, sistem Asapon diperkirakan akan mencapai akhir periodenya pada tahun 2053 M (atau 1987 Tahun Jawa). Setelah itu, kombinasi hari-pasaran awal tahun akan bergeser, menandai dimulainya kurup baru dengan pola Alif-Senin-Pahing, yang secara jenaka sering disebut "Asehing" (singkatan dari Alif-Senen-Pahing), sesuai dengan rotasi alami dalam siklus hari dan pasaran kalender Jawa.
Sementara itu, jika sistem Aboge terus mempertahankan hitungan tradisionalnya tanpa penyesuaian apa pun, maka dalam rentang waktu sekitar dua ribu tahun ke depan akan terjadi pergeseran yang signifikan. Akibatnya, tanggal 1 dalam kalender Aboge, yang seharusnya mencerminkan kemunculan bulan baru, bisa saja bertepatan dengan fase bulan purnama, suatu kondisi yang bertolak belakang dengan makna awal bulan dalam kalender lunar.
2. Perbedaan Kalender Aboge dengan Kalender Jawa Umumnya
Meskipun kalender Aboge masih bagian dari kalender Jawa, ada perbedaan mendasar dengan sistem kalender Jawa resmi yang distandarkan pada masa Sultan Agung Mataram.
Awal Tahun
Kalender Aboge: Tahun baru dimulai pada Rabu Wage di tahun Alif.
Kalender Jawa Umum: Penentuan awal tahun sudah disesuaikan dengan sistem resmi Sultan Agung, bisa berbeda hari pasaran. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan dengan kalender Hijriyah.
Penentuan Hari Besar
Kalender Aboge: Sering digunakan untuk perhitungan khusus seperti muludan (Maulid Nabi) dengan rumus tertentu.
Kalender Jawa Umum: Lebih mengikuti penanggalan resmi yang seragam di seluruh Jawa.
Penggunaan Lokal
Kalender Aboge biasanya digunakan di daerah-daerah pedesaan atau komunitas adat yang memegang tradisi turun-temurun.
Kalender Jawa umum digunakan lebih luas, termasuk dalam keperluan budaya, perhitungan weton, dan acara kerajaan.
3. Perbedaan Kalender Aboge dengan Kalender Hijriyah
Kalender Aboge pada dasarnya merupakan modifikasi dari kalender Hijriyah yang disesuaikan dengan perhitungan Jawa.
Sistem Penanggalan
Kalender Hijriyah: Berdasarkan peredaran bulan murni (lunar calendar), jumlah hari 29–30 per bulan, total ±354 hari per tahun.
Kalender Aboge: Juga mengikuti peredaran bulan, tetapi awal bulannya disesuaikan dengan hitungan Aboge sehingga beberapa tanggal hari besar Islam bisa berbeda.
Awal Penentuan Tahun Baru
Kalender Hijriyah: Tahun baru dimulai 1 Muharram sesuai rukyat atau hisab astronomi.
Kalender Aboge: Tahun baru dimulai sesuai siklus windu dan kombinasi pasaran yang tetap (Rabu Wage di tahun Alif).
Hari Besar Islam
Kalender Hijriyah: Penentuan hari besar murni berdasarkan rukyat/hisab astronomi resmi.
Kalender Aboge: Penentuan hari besar bisa berbeda satu atau dua hari karena memakai sistem hitungan tradisional.
Kesimpulan
Kalender Aboge adalah salah satu bentuk penanggalan Jawa tradisional yang unik, lahir dari perpaduan budaya Jawa dan perhitungan kalender Islam. Ciri khasnya terletak pada siklus Alif Rebo Wage yang digunakan untuk menentukan awal tahun dan hari-hari penting.
Perbedaan dengan kalender Jawa umum terutama ada pada awal tahun dan metode penentuan hari besar, sedangkan perbedaan dengan kalender Hijriyah terletak pada penyesuaian perhitungan hari besar Islam yang sering berbeda satu atau dua hari dari penanggalan resmi.
Kalender Aboge bukan sekadar sistem waktu, tetapi juga warisan budaya yang mencerminkan kearifan lokal dan tradisi spiritual masyarakat Jawa. Meski jarang digunakan dalam penanggalan resmi, kalender ini tetap lestari di komunitas yang memegang teguh adat dan perhitungan tradisional.
Kalender Aboge, jika digunakan dalam jangka panjang, akan menghadapi masalah serius terkait kesesuaian dengan fase bulan, karena perhitungannya bersifat tetap dan tidak mengikuti pengamatan astronomis. Seiring waktu, pergeseran antara tanggal dalam kalender dan posisi bulan sebenarnya akan semakin besar, sehingga tanggal 1 yang seharusnya mencerminkan bulan baru bisa jatuh pada fase bulan purnama. Penyesuaian tentu dapat dilakukan untuk menjaga akurasi terhadap siklus bulan, namun jika penyesuaian itu diterapkan, maka kalender tersebut tidak lagi dapat disebut sebagai Aboge, karena telah meninggalkan sistem hitungan tradisional yang menjadi ciri khas utamanya. Dan tentunya 1 Sura di tahun Alif tidak akan lagi jatuh pada hari Rebo Wage.
****
Pergeseran terhadap fase bulan dalam kalender Jawa terjadi karena menggunakan sistem hitungan matematis tetap (taqwim) yang tidak sepenuhnya mengikuti peredaran bulan secara astronomis (rukyat).
📌 Masalah utama terletak pada panjang rata-rata tahun dan akumulasi selisih hari:
Kalender Jawa (versi Sultan Agung) memakai siklus windu (8 tahun), yang terdiri atas:
5 tahun pendek (354 hari)
3 tahun panjang (355 hari)
➡️ Total hari dalam satu windu:
2.835 : 8 = 354,375 hari
Kalender Hijriyah murni (berdasarkan bulan sinodik):≈ 354,367
Artinya, kalender Jawa lebih panjang sekitar 0,008 hari per tahun dibanding Hijriyah murni.
Dalam 1 windu (8 tahun):
Dengan sistem ini, setelah kurup Aboge (Alif-Rabu-Wage), berganti menjadi Asapon (Alif-Selasa-Pon) saat ini masih berlaku, lalu Asehing (Alif-Senin-Pahing), Ahadgi (Alif-Ahad Legi), dan seterusnya, mengikuti rotasi alami hari dan pasaran dalam siklus windu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar